20.48 -
No comments


Eksistensi Perempuan dalam Budaya Patriarki
Semakin maraknya perkembangan zaman saat ini, segala aktivitasnya pun tak luput dari peran seorang perempuan mulai dari aspek pendidikan, sosial-ekonomi, hukum, dan juga politik. Hal tersebut juga didorong oleh masyarakat global dimana kemajuan bangsa ditentukan oleh seberapa besar rasa peduli dan kemudahan akses bagi perempuan beraktivitas di ranah publik. Di Indonesia, partisipasi perempuan tidak hanya sekedar menuntut persamaan hak saja tetapi juga melibatkan bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Perempuan memiliki potensi sebagai sumber daya manusia maka upaya mengikutsertakan perempuan dalam proses pembangunan bukan hanya peri kemanusiaan belaka, namun merupakan tindakan efisien karena tanpa menyertakan perempuan ke dalam proses pembangunan berarti pemborosan dan memberi pengaruh negatif terhadap lajunya pertumbuhan ekonomi (Pudjiwati,1983).
Isu yang semakin masif diperbincangkan akhir-akhir ini adalah isu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan atau isu kesetaraan gender. Makna terhadap istilah kesetaraan gender khususnya membahas mengenai masalah kesenjangan antara keadaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki di masyarakat. Gap atau kesenjangan yang menimpa kaum perempuan akan memunculkan persepsi bahwa perempuan kodratnya untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan yang rendah pula. Namun yang perlu kita tanamkan bahwa perjuangan perempuan untuk kesetaraan bukan milik seorang feminis atau organisasi mana pun, melainkan bentuk usaha kolektif semua orang yang peduli mengenai hak asasi manusia. Keadaan ini mendorong kepedulian bersama untuk memperjuangkan hak perempuan.
Dalam konsep feminisme, laki-laki dengan budaya patriarki merupakan sebuah momok. Karena budaya patriarki sudah terinternalisasi dari masyarakat dan telah dilanggengkan dalam perspektif berbagai elemen seperti kebudayaan, adat, norma sehingga dampaknya kaum perempuan tidak mendapatkan posisi yang menguntungkan. Relasi yang tercipta antara laki-laki dengan perempuan terlihat seperti penguasa dan abdi. Dalam istilah Jawa perempuan dikenal dengan sebutan ‘konco wingking’ yang bermakna bahwa kodrat perempuan adalah berada di belakang, menjalankan tugasnya sebagai Ibu yang melahirkan
anak,memasak makanan,tanpa adanya hak untuk berperan dan berbicara sehingga perempuan berada dalam subordinasi. Sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara (Faturochman, 2002: 16). Oleh karena itu, dalam sistem sosial dikenal sektor publik dan sektor domestik. Sektor publik distereotipkan sebagai wilayah laki-laki sedangkan sektor domestik distereotipkan sebagai wilayah perempuan.
Sangat kompleks jika kita membicarakan feminisme hari ini. Ada banyak generalisasi dan juga stereotip atau persepsi berdasarkan pendapat yang menimbulkan penilaian cenderung negatif bahkan merendahkan terutama untuk kaum perempuan. Dimana hal itu perlu dibenahi agar tidak terjadi kesalahpahaman. Memperjuangkan kesetaraan bukan berarti memperlawankan dua jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Sekali lagi bukanlah mempertentangkan laki-laki dan perempuan, tetapi lebih kepada upaya membangun hubungan (relasi) yang setara. Kesempatan harus terbuka sama luasnya bagi laki-laki dan perempuan sebab sama pentingnya untuk mendapatkan pendidikan, makanan yang bergizi, kesehatan, kesempatan kerja, dan sebagainya. Kesetaraan gender pada gilirannya akan menghasilkan pengaruh positif. Perempuan yang sehat, berpendidikan, berdaya akan memiliki anak-anak perempuan dan laki-laki yang sehat, berpendidikan dan percaya diri. Pengaruh perempuan yang besar dalam rumah tangga telah memperlihatkan dampak yang positif pada gizi, perawatan kesehatan, dan pendidikan anak-anak mereka.
Mewujudkan kesetaraan gender bukan hal yang tidak mungkin dilakukan oleh suatu kelompok atau suatu bangsa, meskipun budaya patriarki sudah berlangsung lama. Mewujudkan kesetaraan gender merupakan agenda jangka panjang yang tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Pendidikan merupakan kunci terwujudnya keadilan gender dalam masyarakat, termasuk yang menganut budaya patriarki. Karena pendidikan merupakan alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mereka. Selain itu, dalam menjumpai fenomena budaya saat ini, kita perlu memberi informasi yang valid mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan ras, suku, dan agama. Berbicara mengenai feminis pun tidak luput dengan pro dan kontra yang ada di masyarakat, untuk itu sejak awal perlu diupayakan terwujudnya keadilan gender. Mewujudkan kesetaraan gender pada hakikatnya merupakan kepentingan kemanusiaan, dan kepentingan semua pihak. Sehingga diharapkan akan terwujud bangsa yang adil, mulia, dan bermartabat.
Daftar Pustaka :
1. Suyanto, S. Faktor Sosial dan Penyebab Stereotip Perempuan dalam Bahasa Indonesia dalam Ranah Rumah Tangga. Kajian Sastra, 34(1), 23-40.
2. Susanto, N. H. (2015). Tantangan mewujudkan kesetaraan gender dalam budaya patriarki. Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 7(2), 120-130.
3. Wandi, G. (2015). Rekonstruksi Maskulinitas: Menguak Peran Laki-laki dalam Perjuangan Kesetaraan Gender. Kafaah: Journal of Gender Studies, 5(2), 239-255.
4. Wibowo, D. E. (2011). Peran ganda perempuan dan kesetaraan gender. Jurnal Muwazah, 3(1), 356-364.
5. Mustikawati, C. (2015). Pemahaman emansipasi wanita. Jurnal kajian komunikasi, 3(1), 65-70.
0 komentar:
Posting Komentar